"Sweet Light": Book Reviews



"Mata Ketiga Stefano Romano" 
Reviewer: Vudu Abdul Rahman



 

Lensa kamera bisa berfungsi sebagai medium dalam mendekatkan batin antarmanusia. Sekalipun antarmanusia tersebut memiliki perbedaan kultur dan literatur. Stefano Romano mampu membuktikannya, bahwa tak ada batas warna untuk memandang manusia, kecuali tunarasa.

Stefano menganggap bahwa fotografi dapat membawa jarak kita lebih dekat dengan manusia, serentang jarak 50 mm; dari dalam, dari dekat; lihatlah dirimu sendiri di dalam mata orang yang ada di hadapanmu.

 

Saya kerap menyebut namanya dalam beberapa tulisan maupun diskusi visual. Karya fotografi dalam bukunya Sweet Light, ia tidak sekadar memotret objek, tetapi memintal ikatan batin antara subjek dengan objek. Potretnya seolah berbicara kepada pembacanya dengan getar yang persis dirasakan Stefano saat memotretnya.

 

Ia memang seorang fotografer yang sangat peka soal objek kemanusiaan. Jika meminjam sebaris puisi Al-Juburi, penyair Irak, sebagaimana dikutipnya bahwa wajah adalah bahasa tanpa aksara. Baginya, fotografi juga keterampilan menulis dengan cahaya. Sementara, potret merupakan pencarian cahaya di dalam diri orang lain. Senapas dengan Multatuli bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia. Frasa tersebut kerap dikutip oleh Kartini pada buku "Panggil Aku Kartini Saja" karya Pramoedya Ananta Toer.

 



 

Melalui lensa—mata  ketiganya—ia bisa menjadi puisi Rumi yang penuh dengan kontemplasi. Selain itu juga berperan sebagai Mahatma Ghandi yang bijaksana. Karakter itu barangkali terkait dengan latar belakang pendidikannya, jurusan Psikologi dan Estetika.

 

Saya memandang Stefano seorang fotografer humanis. Ia tidak sekadar membidik objek, tetapi terhubung dengan getar sekitar. Pada sebuah diskusi virtual bersama saya, Stefano bercerita bagaimana ia bisa masuk ke dalam rumah orang lain yang belum dikenalnya. Bukan sebagai orang lain, melainkan seperti tuan rumah yang bisa duduk setara dengan mereka. Mereka pun tertawa bahagia di dalam rumah yang sama. Fotografer lain belum tentu mampu mengikuti apa yang dilakukan Stefano. Barangkali, ia pun bisa berperan sebagai badut. Sependek pengetahuan saya, ia senang diterima oleh orang-orang yang baru dikenalnya sebagai manusia.

 

Jika dikaitkan dengan keliterasian, saya belajar banyak hal darinya. Bahwa, tanpa bacaan yang kuat maupun perjalanan panjang yang padat ke tiap negara, tak mungkin menjadi individu yang terbuka. Dalam kesempatan lain, ia mengatakan bahwa seseorang harus membuka pikirannya untuk meretas batas kemanusiaan. Dengan begitu, seseorang akan memiliki jiwa ekualitas sebagai manusia, sebagai kita yang sama-sama warga dunia.

 



 

Saya selalu terngiang dengan kalimatnya, "Fotografi adalah seni menulis dengan cahaya".

 

Saya membayangkan seseorang yang menulis dengan cahaya, maka penikmatnya akan melihat segalanya. Sekali lagi, seseorang itu menelusuk ke dalam batin setiap manusia. Terutama cinta yang daya tarik-menarik antara ibu dengan anak.

 

Saya menangkap titik temu dalam pembicaraan bersamanya. Seorang penulis yang hebat adalah seorang pembaca banyak buku lintas kultur dan literatur.

 

A great writer's the one who reads the books around the world--cross literatures and cultures. Kalimat ini semacam konklusi saya saat diskusi virtual dengannya.  

Pada kesempatan diskusi virtual, ia mengatakan bahwa penulis Indonesia sebenarnya mampu bersaing di luar negeri. Namun secara literatur, jangan sekadar terkungkung oleh bacaan yang ada di wilayahnya sendiri. Begitu juga dengan pembacanya yang harus membuka pikirannya terhadap kebudayaan, kebiasaan, dan kebahasaan dari luar.

Para penulis di luar negeri itu berusaha untuk memahami kebudayaan, kebiasaan, dan kebahasaan secara global. Hal ini akan membantu kekayaan intelektualnya dan berpengaruh terhadap sentuhan kekaryaannya sebagai penulis, pemusik, pelukis, dlsb. Orang-orang Indonesia akan menjadi negeri literat, jika para pembacanya juga memiliki ragam bacaan dari luar sebagai cara pandang dengan warna lain.

Tasikmalaya, 12 November 2021






Reviewer: Sri Diah Shaharuddin 

Sungguh! Saya payah mahu memuji. Saya sukar mahu berkata bagus terhadap karya seseorang.

Namun lebih empat jam bersama 'me time' dalam koc ETS dari KL Sentral ke Ipoh, hati saya puas dengan konten buku ini. 123 muka surat buku "Sweet Light: Meraih Cahaya Melalui Fotografi " berbahasa Indonesia ini penuh filosofi. Tiada hati yang tercalar tatkala membacanya. Tiada prasangka.

Ini bukan buku foto semata.  Sejujurnya ini adalah buku jiwa. Tentang cahaya manis dan kecintaan manusia yang sarat emosi.

Tiada perkataan tepat menceritakan kesungguhan buku ini diterbitkan. Saya respek tahap tinggi.

Saya terharu dengan interpretasi tentang bangsa lain (bukan bangsa asing, kerana antara kita tiada beda).

Tiada infiniti rasa tentang imigran, manusia miskin, hidup di lorong dan dunia gipsi yang misteri.

Buku ini juga ada pelbagai aroma dari barat ke timur, dari utara ke selatan, dari dalam diri dan di luar diri.

Ia sarat falsafah hingga bidikan sekeping foto boleh menghasilkan makna keseluruhan kehidupan.

Tatkala buku ini mahu disiapkan pada sekitar 2018, saya turut merasai penulis seperti dihentam rasa marah, gelisah, serba tak kena mahu menyusun ayat.

Katanya beliau ada banyak yang mahu disampaikan dalam limit masa, ruang buku dan tempoh deadline. Saya memahaminya.

Namun melihat penghasilan buku ini, wahhh... Setinggi tahniah buat Stefano Romano dan editornya Yuliani Liputo juga Penerbit Mizan. Buku ini wajar diterjemah ke banyak bahasa asing.

Stef, jangan lupa sahabat Thailand, Filipina, Bangladesh, Morocco, Venezuela, India, Pakistan, Syria, Sudan dan bangsa lain di dunia ini, mereka mahu membaca karya kamu tentang mereka.

Silakan memayung dunia dengan falsafah dan dakwah foto kamu yang hebat. Sememang kamu layak memegang honour Knight of José Rizal (2015).




Reviewer: Siti Suhaila




"Buku yang sarat dengan rasa kemanusiaan, di celah-celah kehidupan manusia dari pelbagai latar belakang. Bukan sekadar gambar, penuh dengan nilai kasih sayang, pengertian, dan keterbukaan.” 



Reviewer: Faizah Ahmad


Saya tidak pernah jemu membaca buku Sweet Light sekalipun sudah enam kali saya menyelami setiap bait kata yang tercatat pada helaian setebal 123 muka surat ini.

Ya Tuhan. Bagi saya ini bukan sebuah buku foto semata. Buku ini tidak menceritakan tentang teknik lighting, composition atau angle secara luaran. Ia membawa jiwa pembaca menyelami makna lebih mendalam sehingga bisa menerbitkan kesedaran, semangat, motivasi, kecintaan dan kasih sayang kepada manusia dan dunia seluruhnya.

Setiap filosofi yang diungkapkannya membuatkan minda saya terbuka luas mempelajari sesuatu yang baru. Setiap ceritera yang dikongsi mengenai kehidupan dan momen bangsa lain membuatkan jiwa saya tersentuh jauh ke sudut paling dalam. Penulis menyedarkan saya bahawa terdapat sudut lain dalam dunia ini yang lebih baik dari kehidupan kita sekarang.

Tafsirannya halus dan mendalam. Bahkan sangat detail menceritakan tentang cahaya, api, kegelapan, prasangka, ketakutan, kasih sayang dan keindahan.

Bab pertama buku ini menceritakan kata hati penulis dalam dunia fotografi. Saya kagum dan terinspirasi. Disusuli dengan bab kedua dan ketiga menceritakan asbab foto membawa beliau menyelami kehidupan bangsa lain sekalipun berbeza warna kulit, sosio budaya serta jauh beribu batu   dari negara asal, Itali.

Buku ini luar biasa hebat bagi saya. Ia lebih dari sebuah buku yang bisa memberi cahaya baharu dalam setiap jiwa yang membacanya. Jujurnya buku ini secara tersirat membawa mesej dakwah yang sangat indah dan cantik.

Tidak berlebihan jika saya katakan karya ini layak menerima bintang infiniti sebagai ganjarannya.

Kesemua foto dalam buku ini membangkitkan perasaan yang mempunyai aroma yang tersendiri.

Terbaik.  Luar biasa hebat dan mengagumkan. 

Sungguh! Saya sangat suka.






120 pages / Paperback / 14,5 x 21,5 cm / 40 photos /
Language: Indonesia / ISBN: 978-602-441-075-9 / August, 2019.





Comments